Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Asal Blora jadi Tampilan Google Doodle Hari Ini

SEKITARPANTURA.COM - Jika Anda membuka laman mesin pencari Google hari ini, Senin (6/2/2017), maka, Anda akan menemukan ilustrasi seorang pria berambut putih, berkacamata, dan berkaus.Pria tersebut digambarkan sedang mengetik di mesin tik manual.

Pria ini adalah Pramoedya Ananta Toer yang dilahirkan di Blora pada 6 Februari 1925. Google Doodle hari ini membuat sebuah perayaan ulang tahun ke-92 baginya.

Pram adalah salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domei (LKBN ANTARA semasa pendudukan Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. 

Sastrawan ini telah tutup usia akibat komplikasi diabetes serta penyakit jantung pada 31 April 2006 lalu.



Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.

Dirinya kerap mengkritik pemerintah melalui karya-karyanya, sehingga kerap bersinggungan dengan penguasa di masanya.

Pemerintah Belanda, di masa masih menjajah Indonesia, pernah memenjarakan Pram. Rezim Soekarno pun tak akur dengan Pramoedya Ananta Toer. Pun demikian rezim Soeharto yang menyensor berbagai tulisannya, menudingnya sebagai komunis, hingga memenjarakannya di Pulau Buru selama 30 tahun.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karier militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.

Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keamanan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya.

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan Ramon Magsaysay. Beberapa dari tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dan HB Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965.

Mereka menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tidak terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kreativitas’ pada zaman Demokrasi Terpimpin. Semenjak orde baru Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Di antara banyak karya tulis Pramoedya, satu yang paling terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, adalah Tetralogi Buru.

Tetralogi Buru sendiri merupakan novel yang terdiri dari empat judul, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Ceritanya berkutat pada kehidupan Minke, nama lain dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang dianggap sebagai tokoh pers dan kebangkitan nasional Indonesia.


Proses penulisannya menyisakan sebuah cerita yang menarik. Pasalnya, Pram menulis Tetralogi Buru semasa dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku.

Bahkan, kala itu Pram sama sekali tidak diberi akses untuk mendapatkan pena, kertas atau alat tulis lain.

Semasa pembatasan akses tersebut, Pram menceritakan garis besar naskah Tetralogi Buru secara lisan pada kawan-kawannya sesama tahanan.

Detil-detil Tetralogi Buru baru ditulis oleh Pram saat dia diperbolehkan menulis di tahanan dan mendapatkan akses alat tulis.

Saat itu, Pramoedya merupakan satu-satunya tahanan yang mendapat pinjaman mesin tulis.

Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari tahanan dan dinyatakan tidak bersalah serta tidak terlibat Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).

Meski bebas, naskah Tetralogi Buru tidak dengan mudah ikut bebas keluar dari Pulau Buru. Pasalnya setiap tahanan yang dipulangkan selalu mengalami penggeledahan.

Naskah tersebut berhasil sampai ke Jakarta dengan selamat atas bantuan kawan-kawan Pram di tahanan.

Mereka membantu menyelundupkan dan menyembunyikan naskah tersebut agar terhindar dari penggeledahan tersebut.

Hingga saat ini, empat judul dari Tetralogi Buru itu seluruhnya masih beredar dan bisa dibaca.

Begitu juga beberapa karya lainnya, seperti Arok Dedes, Mangir, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai. (*) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Asal Blora jadi Tampilan Google Doodle Hari Ini "

Post a Comment